Pages

Pengamat Fenomena #2

Sabtu, 26 Januari 2019

      Hidup menjadi manusia yang memegang peran ganda sebagai makhluk individu dan makhluk sosial terkadang begitu sulit. Makna kedua sematan tersebut menjadi bias dalam implementasinya, entah apakah harus seimbang antar keduanya atau harus berat sebelah dalam situasi tertentu. Entahlah, aku yang sudah hidup 1/5 sekian abad saja, masih sulit untuk menemukan esensi dan menerapkannya. Semakin beranjak dewasa, aku baru mengerti dan melihat sendiri bahwa karakter setiap manusia itu berbeda dan cukup unik. 
      Ada yang selalu menjadi lilin yaitu selalu berusaha untuk memberi sinar yang bisa dirasakan manusia lain, tetapi tanpa sadar merusak dirinya sendiri, leleh karena panas api yang ada, mengecil, dan mati. Ada yang selalu menjadi parasit dalam tumbuhan inangnya, entah kenapa selalu menang sendiri dan tanpa sadar banyak menyakiti manusia lain. Atau ada yang menerapkan simbiosis komensalisme, entahlah yang penting tidak membuat rugi sepertinya. Atau mungkin, ada yang berada diantaranya, hidup diantara zona nyaman, enggan bergerak, yang penting tidak memiliki  konflik terutama dengan diri sendiri atau manusia lain.
    Banyaknya karakter manusia tersebut, membuatku untuk terus belajar menempatkan diri, bukan untuk memaksa sesuai apa yang diinginkan, tetapi tentang mengalah dan memberi ruang. Selain itu,  aku juga perlu belajar memahami bahwa aku, kamu, dan kita semua adalah manusia yang sewaktu-waktu bisa khilaf dan berbuat kesalahan. Dalam konteks ini, jelas ada batasan-batasan tertentu terhadap kesalahan manusia lain yang masih bisa ditolerir oleh kita sebagai manusia. Lebih-lebih, belajar menempatkan diri itu adalah suatu proses yang panjang dengan makna yang amat dalam, mungkin bukan lagi melihat semuanya dari kacamata horizontal antar manusia tetapi lebih ke urgensi sisi vertikal,  karna Allah selalu ada dan menyayangi makhluk-Nya. Semoga aku, kamu, kita menjadi salah satunya.

   

Kontemplasi

Jumat, 18 Januari 2019

Langit malam yang dipenuhi bintang-bintang itu jelas ikut menyaksikan,

Dengan aku yang masih terdiam dipenuhi pikiran bak hurikan,

Lelah menerawang jauh seputar masa depan yang riskan,

Selalu khawatir doa, usaha, dan perbuatan yang dilakukan selama ini tidak bisa menjadi rekan,

Kehangatan

Selasa, 08 Januari 2019

   Kali ini perjalanan yang aku tempuh cukup jauh, melewati beberapa kota untuk bisa kembali pulang. Perjalanan ini sama seperti perjalanan sebelumnya, yang selalu membuatku tidak bisa tidur semalaman. Entah kenapa, aku selalu suka memandang dari balik jendela kereta pada waktu malam hari, memang hitam karna tak terlihat apa-apa, tapi menenangkan. Apalagi, ditemani lagu-lagu kesukaanku yang seolah memutar kembali memori beberapa hari yang lalu di kota yang penuh kehangatan itu. 

   Keretaku tiba subuh kala itu. Aku yang masih mengantuk terpaksa harus beranjak dari kursiku untuk mengambil barang-barang di bagasi atas. Lalu aku mulai berjalan keluar stasiun. Stasiun ini mungkin kecil, tidak seperti stasiun di kota besar lainnya. Tapi, aku baru menemukan banyak cerita disini, sama seperti sekarang. Arah jam 6, aku melihat banyak keluarga yang menjemput keluarganya yang lain, yang satu kereta denganku. Benar-benar banyak sekali sampai membuat pagar betis dari ujung tempat keluar stasiun sampai ujung sebelah sananya. Aku yang berjalan diantaranya bisa melihat rona bahagia, haru, dan kehangatan yang terpancar dari banyak keluarga tersebut, mungkin mereka sudah lama tidak bertemu dengan keluarganya, gumamku. Aku kembali berjalan diantaranya, aku melihat lagi ada seorang anak kecil yang berlari sambil hampir terjatuh, ingin memeluk ayahnya yang akhirnya kembali pulang. Aku kembali berjalan diantaranya, aku melihat ada seorang Ibu yang hamil ditemani seorang perempuan paruh baya, yang mengusap air matanya ketika melihat ke arah belakangku, mungkin terharu melihat suaminya yang datang. Aku kembali lagi berjalan diantaranya, aku melihat ada seorang bapak-ibu yang saling mencium pipi anaknya dan memeluknya dengan erat, sungguh membahagiakan. Aku kembali lagi berjalan diantaranya, aku melihat ada dua sosok yang amat kukenal menungguku dipaling ujung sambil terlihat bingung mencariku diantara banyak orang. Padahal, aku tidak meminta untuk dijemput karna aku khawatir fisik mereka tidak cukup kuat untuk datang ke stasiun. Aku menuju ke arah dua sosok tersebut sambil ingin menangis.
Alhamdulillah, Allah berikan selalu nikmat sehat buat Mbah Kung dan Mbah Uti sehingga bisa menemaniku sampai tahap kehidupan yang sejauh ini dan semoga bisa sampai seterusnya.


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS