Hidup menjadi manusia yang memegang peran ganda sebagai makhluk individu dan makhluk sosial terkadang begitu sulit. Makna kedua sematan tersebut menjadi bias dalam implementasinya, entah apakah harus seimbang antar keduanya atau harus berat sebelah dalam situasi tertentu. Entahlah, aku yang sudah hidup 1/5 sekian abad saja, masih sulit untuk menemukan esensi dan menerapkannya. Semakin beranjak dewasa, aku baru mengerti dan melihat sendiri bahwa karakter setiap manusia itu berbeda dan cukup unik.
Ada yang selalu menjadi lilin yaitu selalu berusaha untuk memberi sinar yang bisa dirasakan manusia lain, tetapi tanpa sadar merusak dirinya sendiri, leleh karena panas api yang ada, mengecil, dan mati. Ada yang selalu menjadi parasit dalam tumbuhan inangnya, entah kenapa selalu menang sendiri dan tanpa sadar banyak menyakiti manusia lain. Atau ada yang menerapkan simbiosis komensalisme, entahlah yang penting tidak membuat rugi sepertinya. Atau mungkin, ada yang berada diantaranya, hidup diantara zona nyaman, enggan bergerak, yang penting tidak memiliki konflik terutama dengan diri sendiri atau manusia lain.
Banyaknya karakter manusia tersebut, membuatku untuk terus belajar menempatkan diri, bukan untuk memaksa sesuai apa yang diinginkan, tetapi tentang mengalah dan memberi ruang. Selain itu, aku juga perlu belajar memahami bahwa aku, kamu, dan kita semua adalah manusia yang sewaktu-waktu bisa khilaf dan berbuat kesalahan. Dalam konteks ini, jelas ada batasan-batasan tertentu terhadap kesalahan manusia lain yang masih bisa ditolerir oleh kita sebagai manusia. Lebih-lebih, belajar menempatkan diri itu adalah suatu proses yang panjang dengan makna yang amat dalam, mungkin bukan lagi melihat semuanya dari kacamata horizontal antar manusia tetapi lebih ke urgensi sisi vertikal, karna Allah selalu ada dan menyayangi makhluk-Nya. Semoga aku, kamu, kita menjadi salah satunya.
Banyaknya karakter manusia tersebut, membuatku untuk terus belajar menempatkan diri, bukan untuk memaksa sesuai apa yang diinginkan, tetapi tentang mengalah dan memberi ruang. Selain itu, aku juga perlu belajar memahami bahwa aku, kamu, dan kita semua adalah manusia yang sewaktu-waktu bisa khilaf dan berbuat kesalahan. Dalam konteks ini, jelas ada batasan-batasan tertentu terhadap kesalahan manusia lain yang masih bisa ditolerir oleh kita sebagai manusia. Lebih-lebih, belajar menempatkan diri itu adalah suatu proses yang panjang dengan makna yang amat dalam, mungkin bukan lagi melihat semuanya dari kacamata horizontal antar manusia tetapi lebih ke urgensi sisi vertikal, karna Allah selalu ada dan menyayangi makhluk-Nya. Semoga aku, kamu, kita menjadi salah satunya.
