Kalau kuasumsikan hidup seperti bianglala tidak apa-apa ya?
Bahwa setiap manusia itu pasti mempunyai masa ketika berada di bianglala paling
atas lalu terkagum-kagum melihat pemandangan kota malam yang indah atau masa
ketika berada di bianglala paling bawah, menunggu, berharap, berusaha, menunggu
lagi untuk menikmati gemerlap riuh suasana kota ditemani lampu-lampu putih dan
kuning yang seolah-olah bersorak sudah sampai tahap ini. Hidup itu memang penuh
teka-teki. Tidak ada yang tahu akan membawamu sampai mana usaha dan doamu itu?
Apakah membawamu terbang tinggi untuk duduk dan bercengkrama dengan bintang dan
bulan malam yang hebat? Atau membawamu turun ke dasar laut yang gelap
sampai-sampai kamu sesak untuk memikirkannya? Manusia benar-benar tidak akan
pernah tahu.
Ketika, manusia berada di fase paling bawah, paling sulit,
paling banyak masalah, paling mengecewakan, banyak dari mereka yang merasa
sangat terpuruk dan menjadi paling menyedihkan. Wajar. Manusia juga
dianugerahi perasaan kan? Ketika berada di fase ini, manusia cenderung mencari
manusia lain untuk sekedar bercerita, berbagi beban masalah, untuk membuat
dirinya merasa sedikit lega, bahwa ada manusia lain yang mau mendengarkan,
berempati, atau bahkan memberi saran atau masukan yang baik. Boleh, ini boleh.
Aku pun juga seperti itu, ketika ada masalah datang, pasti aku mencari-cari
manusia lain yang kupercayai agar membuat bebanku sedikit berkurang. Aku
mencari rumah singgah didiri orang lain untuk membuatku menjadi sedikit lebih
tenang dan merasa aman. Aku juga manusia kan?
Terkadang, apa yang membuatku bingung atau bisa saja
membuat manusia lain bingung adalah ketika setelah bercerita itu, memang beban
akan hilang saat itu juga, bersama manusia lain masalah itu bisa hilang begitu
saja. Lupa. Tertawa. Tetapi, ketika sedang sendiri, tidak bersama manusia
lain tersebut, ada hal lain yang mengganjal entah mengapa membuat kita senang
untuk terus menikmati kesedihan, sedih yang terlalu berlarut-larut. Senang
memutar lagu sedih, seakan-akan mendukung kesedihan ini, membuat suasana sendu,
lalu akhirnya menangislah kita sekeras-kerasnya. Sadar bahwa beban ini
benar-benar berat. Sedih dan bahagia itu kan naluriah, hati manusia memang
didesain untuk merasakan perasaan itu. Tetapi, jika terlalu berlebihan apakah
menjadi wajar? Kataku tidak wajar, tetapi kenyataannya aku masih juga sedih
kan?
Mungkin, apa yang aku atau manusia lain lupa adalah tidak
membangun rumah bagi diri sendiri. Tidak mulai mensurvey untuk membeli
pondasi bangunan yang kokoh, tetapi sibuk mencari rumah singgah di diri manusia lain. Tidak, aku tidak menyalahkan hal tersebut. Aku
pun paling tidak bisa memendam masalah sendiri. Aku tetap harus mencari rumah
singgah didiri orang lain. Dan aku pasti akan tetap melakukan hal itu. Tetapi aku menjadi sadar bahwa aku juga harus membangun rumah untuk diriku
sendiri. Rumah yang menjadi kebutuhan utamaku untuk beraktivitas mulai dari hal yang paling ringan sampai hal berat. Rumah yang menjadi tempat perlindungan dari hujan dan badai sehingga membuatku merasa aman. Rumah yang akan membuatku tenang dan nyaman.
"Rumah tetap dan rumah singgah itu adalah sebuah kebutuhan utama manusia. Tidak ada yang salah ketika kamu hanya punya salah satunya. Hanya saja akan lebih baik jika kamu mempunyai keduanya. Jangan lupa untuk terus merawat dan menjaga keduanya. Toh rumah tetap dan rumah singgah adalah istana indah yang membuatmu ingin terus pulang kan? "
